[Original article Barbell Training is Big Medicine, written by Jonathan Sullivan MD, PhD, SSC. Translated to Bahasa Indonesia by Joannes Marvin, SSC]
Untuk beberapa waktu, dalam tugas saya sebagai dokter emergensi, saya memiliki pikiran aneh saat memeriksa beberapa pasien saya. Saya memeriksa pasien yang datang untuk berobat nyeri kronik, fatigue, tekanan darah tinggi, sesak, atau gula darah yang tidak terkendali. Saya menemui seorang pasien berumur 52 tahun dengan berat badan yang overweight, dengan dekondisi, sendi-sendi yang bermasalah, otot-otot yang atropi, tidak memiliki cadangan fisiologi, dan tidak mampu untuk turun dari brankar tanpa mengerang dan mengi, dan tanda masa depan yang suram. Ketika saya memeriksa pasien-pasien tersebut, saya tidak mendapatkan kegawatdaruratan medis, hanya sesuatu yang saya sebut “diatensionolesity” – diabetes tipe II, hipertensi, profil lipid yang terganggu, dan obesitas.
Dan saya berkata ke diri saya sendiri: Jika saya bisa mengajak Anda mengangkat beban, saya bisa mengubah hidup Anda.
Lalu saya memberi pasien-pasien kuliah tentang berat badan dan kebiasaan merokok mereka, menulis resep untuk penghilang rasa sakit, obat tekanan darah, diuretik atau obat oral hipoglikemik, dan mengirim mereka ke masa depan yang suram. Pengobatan yang cepat diperlukan, tapi yang ingin saya lakukan, sebagai dokter dan manusia, adalah untuk mengubah masa depan itu, untuk membantu mereka mengembalikan kekuatan masa muda mereka, untuk membalikkan atropi dan degenerasi dari badan mereka yang sakit. Saya ingin membuat mereka lebih kuat, atau setidaknya menunjukkan pada mereka bahwa memungkinkan untuk bisa lebih kuat, dan bagaimana cara melakukannya. Saya ingin menulis resep berisi squat.
Saya rasa saya telah menemukan obat awet muda, dan namanya adalah barbel.
Saya memiliki ketertarikan pribadi dan profesional terhadap penuaan. Ketertarikan pribadi saya mudah dipahami; saya mulai menua. Saya beranjak ke 51 tahun. Sendi-sendi saya mulai berderit, rambut saya memutih dengan cepat, dan sepertinya tiap minggu saya butuh resep kacamata yang lebih kuat. Kelenjar-kelenjar saya tidak berproduksi seperti dulu. Metabolisme saya, jika dibiarkan, cenderung mengubah kalori menjadi lemak dan rambut telinga daripada otot dan tulang. Saya bekerja keras menjaga pikiran aktif dan belajar, karena walau saya terus menambah koneksi sinapsis saraf di otak, jumlah sel saraf akan terus berkurang. Saya sudah melewati puncak gunung kehidupan. Sekarang pertanyaannya adalah berapa curam sisi gunung yang saya hadapi.
Ketertarikan profesional saya paa penuaan juga tampak jelas: saya menangani orang-orang sakit sebagai pekerjaan sehari-hari, dan orang tua cenderung lebih gampang sakit. Tapi ketertarikan saya melebihi masalah klinis.
Permainan dengan Bunuh Diri Sel dan Faktor Pertumbuhan
Sejak 1995, saya telah berkecimpung di penelitian iskemia serebral. Artinya saya meneliti tentang apa yang terjadi pada otak ketika aliran darah terganggu, seperti yang terjadi pada stroke atau serangan jantung. [1] Saya berfokus pada mekanisme molekuler yang mengakibatkan kematian atau kesintasan sel otak. Daya bukan ilmuwan yang berbakat, beruntung, atau berpengaruh. Saya hanyalah dokter emergensi tidak terkenal dan tidak berdana melakukan penelitian paruh waktu di lab basement, bekerja memecahkan masalah besar: apa yang terjadi ketika objek paling kompleks di semesta sakit, dan bagaimana kita menyembuhkannya? Dalam perjalanan ini, saya telah belajar banyak tentang bagaimana sel-sel memutuskan untuk mati.
Benar. Seringkali, sel-sel memutuskan untuk mati. Ini bukan proses pasif, tapi merupakan kulminasi dari program menghancurkan diri biomolekuler yang canggih yang disebut apoptosis atau pemrograman kematian sel. [2,3] Apoptosis penting untuk makhluk hidup multiseluler yang maju. Tanpa apoptosis, perkembangan embrio akan menjadi bencana. Infeksi virus akan menyebar seperti kebakaran hutan jika sel tidak diprogram untuk mengorbankan diri mereka untuk kepentingan bersama ketika mengalami bahaya. Dan apoptosis adalah salah satu pertahanan penting tubuh melawan transformasi keganasan dan kanker.
Apoptosis sangat kompleks, tapi garis besarnya tidak sulit untuk dimengerti. Ada dua jalur dasar, ekstrinsik dan intrinsik. Pada apoptosis ekstrinsik, sel atau jaringan lain mengirim sinyal kematian, pesan kimiawi yang diambil oleh sel target dan berisi pesan bahwa sel itu harus mati. Pada proses intrinsik, sebuah stresor menyebabkan pabrik energi sel, mitokondria, untuk mengeluarkan protein yang disebut sitokrom c ke sitoplasma. Coba bayangkan reaktor yang bocor—ini kabar buruk. Ketika sitokrom c merembes keluar dari mitokondria, sitokrom c akan memulai rangkaian peristiwa kompleks yang menyebabkan apoptosis. Pada intrinsik dan ekstrinsik, fase terminal apoptosis dikerjakan oleh protease dan nuklease—enzim protein yang memotong protein lain atau DNA. Enzim-enzim ini menghancurkan sel dengan rapi dan membersihkan kerusakan.
Pada satu waktu selama apoptosis, sel akan menjadi tidak dapat diselamatkan. Sel akan mati. Ketika organel sel mulai mengkerut dan menghilang, tidak ada harapan untuk sel. Dan ketika sel mulai dipotong DNA-nya, sel tersebut telah dihancurkan otaknya. Permainan berakhir. Namun, karena apoptosis bukan kehancuran pasif, melainkan program molekuler, apoptosis harus dimulai dengan sinyal, dirangsang, diaktivasi, dan dieksekusi, apoptosis bisa dimodulasi. Sampai, apoptosis bisa dihambat atau dibalikkan, dan jalan paling efektif adalah melalui growth factor signalling (Penyinalan faktor pertumbuhan). [4]
Faktor pertumbuhan adalah hormon peptida seperti human growth hormone (HGH), insulin, insulin like growth factors (IGFs), Endothelial-derived growth factor (EDGF) dan nerve growth factor (NGF), adalah beberapa diantaranya. Seperti steroid anabolic, mereka meninduksi efek trofik. Namun, tidak seperti steroid, peptide growth factors bekerja melalui reseptor membran di permukaan sel, mengaktifkan kaskada sinyal internal yang mempromosikan pertumbuhan.
Tapi faktor pertumbuhan bukan hanya mempromosikan pertumbuhan – mereka juga mempromosikan kesintasan seluler.
Misalnya, Anda bisa memberikan sel yang dikultur dengan bermacam stimulus yang tidak akan langsung membunuh sel, tapi menyebabkan sel untuk mati sendiri. Stimulus itu adalah hipoksia, radiasi, senyawa kimia seperti ceramide atau arachidonate, beberapa jenis infeksi virus, atau kadar yang banyak dari kalsium atau radikal bebas. Sel akan mengaktivasi program penghancuran diri, mengkerut dan mati. Namun, Anda bisa menghambat atau menghentikan program apoptosis dengan memberikan faktor pertumbuhan, seperti insulin atau IGF-1, ke kultur. Hasil dari observasi ini, faktor pertumbuhan diteliti dengan teliti untuk potensinya mengobati penyakit-penyakit degeratif, termasuk stroke.
Tapi bukan hanya itu, jika kau mengambil sel yang dikultur, yang bertumbuh di serum bernutrisi, dan Anda mengambil serum itu, mereka akan mati, tanpa perlakuan lain. Kenapa? Karena serum mengandung faktor pertumbuhan. Penghapusan penyinalan faktor pertumbuhan cukup untuk merangsang apoptosis pada banyak tipe sel metazoan. [4,6,7]
Satu cara (mungkin kontroversial) untuk memandang ini adalah mode awal sel ini bukan untuk hidup, tapi untuk mati. Jika Anda menghilangkan stimulasi faktor pertumbuhan, mereka akan membunuh diri sendiri. Mesin kematian sudah ada, hanya menunggu untuk diaktifkan. Implikasi teleologis, evolusioner, dan filosofis dari pengamatan ini mengejutkan… tapi diluar cakupan artikel ini. Hari ini kita akan membicarakan tentang penuaan, dan barbel.
Apoptosis dan penuaan: Perspektif Molekuler
Apoptosis klasik dan bentuk lain dari penghancuran sel yang diatur sepertinya berperan dalam biologi penuaan. [8,9,10,11,12] Saat penulisan, ada banyak bukti bahwa kematian sel yang terprogram adalah satu mekanisme yang bertanggungjawab untuk degenerasi neural, atropi otot, sarcopenia, dan osteopenia yang mengincar kita di paruh kedua hidup kita. Dan makin banyak yang berminat pada penggunaan growth factor dan strategi anti apoptosis lain untuk mengurangi kehilangan dari jaringan-jaringan yang penting tersebut. [13]
Mari lihat atropi otot (kehilangan massa otot) dan sarcopenia (kehilangan sel otot) sebagai contoh. Kehilangan otot endemik pada orang tua, dan memprediksi “frailty”, penyakit, hilangnya kemandirian, luka, dan kematian. [14] Dampak pada biaya kesehatan sangat besar, dan dampak pada kualitas hidup dan kesengsaraan manusia tidak terhitung.
Apoptosis myosit – bunuh diri sel otot – tampaknya merupakan kontributor utama pada atropi otot dan sarcopenia pada populasi geriatri dan sedenter. [14,15,16,17] Kadar tinggi dari protein pro-apoptosis, termasuk enzim proteolitik, ditemukan pada otot skelet yang atropi pada tikus tua, dan myosit pada otot-otot tersebut menunjukkan perubahan apoptosis, termasuk fragmentasi DNA. Data pada manusia, walau terbatas, juga menunjukkan bahwa apoptosis myosit penting pada kehilangan otot. Sebagai contoh, subjek manusia yang lebih tua menunjukkan jumlah yang lebih besar pada nukleus sel otot apoptotic dibandingkan kontrol. [18]
Kehilangan jaringan otot yang berkaitan dengan usia sesuai dengan penurunan faktor trofik, termasuk steroid anabolic dan hormon pertumbuhan peptida. Misalnya, kadar IGF-1 turun dengan bertambahnya usia, dan kadar IGF-1 berhubungan dengan menurunnya kekuatan dan massa otot yang semakin bertambah saat kita menua. Sebaliknya, faktor pertumbuhan seperti IGF-1 merangsang hipertrofi otot skelet. [19] Hewan transgenik yang dibuat untuk “overexpress” (banyak mengeluarkan) IGF-1 menunjukkan penurunan terkait usia dari serat otot dan motoneuron. Orang yang lebih tua yang secara genetik cenderung membuat lebih banyak IGF-1 menunjukan performa dan hasil yang lebih pada program latihan kekuatan. [20] Dan penelitian tahun 2002 meneliti peningkatan kekuatan otot (dan massa otot) ketika IGF-1 diberikan ke perempuan yang dalam pemulihan patah tulang panggul. [21]
Observasi ini menyebabkan banyak penelitian lain meneliti pemberian faktor pertumbuhan ke individu yang lebih tua. [13,22,23] Hasilnya cenderung ke arah peningkatan massa tubuh, penurunan lemak tubuh, perbaikan dari lipid darah, dan peningkatan kekuatan. Sayangnya, pemberian faktor pertumbuhan juga menyebabkan efek samping, termasuk resistensi insulin, diabetes, ginekomastia, nyeri sendi, dan pembengkakan. [23]
Pesannya adalah, walau menarik untuk mengonsumsi faktor trofik sebagai supplemen menghambat proses penuaan, dan walau bisa menguntungkan untuk mengonsumsinya di populasi yang lebih tua dengan respon hormonal yang menumpul, pendekatan ideal adalah untuk membuatnya sendiri, di dalam tubuh kita, selama kita bisa, sehingga responnya fisiologis, teregulasi, dan sehat.
Ketika kita berlatih dengan barbel dan makan dengan teratur, kita mengirim sinyal ke tubuh kita sehingga lingkungan anabolic terbentuk. Lingkungan anabolik berarti faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan menghambat apoptosis. Dan apoptosis adalah bagian penting dari penuaan.
Itulah perspektif molekuler saya. Lebih tepatnya, itu adalah oversimplifikasi dari perspektif molekuler. Kita belum membahas tentang peran stres oksidatif, kebocoran kalsium, pemendekan telomer, dan proses lain yang berperan dalam penurunan otot dan penuaan. Dan tentu saja, banyak yang kita ketahui tentang apoptosis dan penuaan, seperti model ilmu lain, bersifat sementara. Penting untuk menggarisbawahi bahwa minoritas penelitian tidak mempercayai IGF-1 memediasi hipertrofi yang dirangsang latihan. Dan disuse atropi (atropi yang tidak berkaitan dnegan usia dan berasal dari imobilisasi, tanpa beban, perjalanan luar angkasa, dll) otot skelet tampaknya melibatkan jalur selain dari apoptosis klasik – walau, seperti apoptosis, jalur alternatif ini diatur program penghancuran diri.
Banyak penelitian yang harus dilakukan pada penuaan, apoptosis, dan atropi otot. Tapi saya memberi perspektif molekuler karena saya ingin memberikan poin penting. Saya pikir perspektif makro lebih bisa menjelaskan. Saya percaya apoptosis tidak hanya terjadi pada tingkat seluler. Saya pikir proses sama penghancuran diri terjadi pada tingkat manusia, dan seperti apoptosis seluler juga dipercepat oleh penuaan dan distimulasi oleh menurunnya stimulasi tropik.
Sebut saja apoptosis manusia.
Apoptosis Manusia
Penuaan ditandai dengan menurunnya kekuatan, fleksibilitas, dan cadangan fisiologi adaptif; dengan penuaan sistem pertumbuhan dan perbaikan, penumpulan respon hormonal, dan atropi otot, saraf, tendon, ligamen, dan tulang. Atropi fisik ini disertai dengan penurunan fisiologis yang lebih mematikan. Seringkali, orang yang menua merasakan menjadi lebih lemah, dan mengakibatkan orang tersebut menurunkan ekspektasi dan usahanya – dan akhirnya terjadi pelemahan. Ini analog dengan sel memotong DNA-nya sendiri. Saat psike telah menyerah kepada penurunan dan kematian, semuanya berakhir kecuali penderitaannya.
Seperti penghancuran sendiri sel, saya pikir apoptosis manusia juga memiliki rasa intrinsik dan ekstrinsik. Untungnya, kita telah melihat penurunan pada “Sinyal Kematian” ekstrinsik pada orang yang lebih tua, dengan kesadaran yang meningkat bahwa mungkin untuk tetap fit dan aktif di masa hidup kita yang panjang. Namun, individu yang menua tetap dipengaruhi stereotipe budaya, TV, keluarga, dokter, dan “ahli” lain bahwa mereka harus istirahat, makan sedikit daging, dan bertingkah sesuai usia. Sinyal intrinsik lebih parah lagi: “Saya gendut. Saya lemah, Saya tidak berguna. Sendi-sendi saya sakit. Dan saya terlalu tua untuk melakukan apapun. Dimana Cheetos-nya?”
Ini adalah peningkatan yang bermakna pada fenotipe penuaan di Amerika dan negara industri lainnya, neraka hidup dari kelemahan progresif, obesitas, inaktifitas, pandangan yang menyempit, impotensi seksual, penurunan ekspektasi, memuncaknya keputusasaan, daftar obat mahal, ketidakberdayaan, penuakit, dan nyeri. Menjadi “ Semua Berakhir di Usia Enampuluh” … atau Limapuluh. Kehidupan menunggu kematian dari infeksi kulit atau panggul patah atau penyumbatan darah, kehidupan yang membutuhkan gokart kecil untuk kemana-mana, kehidupan tidak dapat membersihkan kotoran sendiri, kehidupan membiusi diri sendiri dengan alkohol, rokok, American Idol, dan Dorritos sehingga Anda tidak menghadapi eksistensi muram menjadi Jabba The Hut yang membusuk. Saya melihatnya setiap hari. Kami menyebutnya “old-itis” (old=tua, -itis=kata sambung untuk mendefinisikan penyakit). Sebuah lelucon, tapi lelucon yang kasar. Avatar penuaan yang mengerikan ini menyinggung mata, pikiran, dan jiwa, dan itu memanggil rasa iba namun juga koreksi.
Latihan kekuatan adalah faktor pertumbuhan makroskopik, melawan semua hal buruk tersebut. Ini bukan ekstrapolasi angan-angan saya dari fenomena seluler ke lingkungan manusia. Ini adalah observasi medis, didukung oleh banyak penelitian. Penelitian pada orang tua menunjukkan latihan resistensi meningkatkan fungsi dan kekuatan secara keseluruhan [30,31], meningkatkan kepadatan tulang, dan adaptasi keseimbangan [32], dan meningkatkan profil metabolik dan kontrol glikemik pasien dengan diabetes tipe 2 [33]. Penelitian besar tahun 2008 dengan 9000 orang diikuti selama 20 tahun menunjukkan bahwa kekuatan otot berbanding terbalik dengan kematian dari semua penyebab, bahkan setelah disesuaikan dengan fitness dan kesehatan kardiovaskuler. [34]
Itu adalah latihan kekuatan. Bagaimana dengan latihan barbel? Seperti bagian lain dari ilmu olahraga, penelitian latihan kekuatan di orang tua sedikit merepresentasikan latihan barbel. Tapi saya menggarisbawahi bahwa semua keuntungan yang diketahui dari latihan barbel lebih bermakna pada populasi orang tua. Latihan barbel dasar melatih jaringan dalam jumlah besar, dan akan membuat respons sistemik dan lokal terbesar, termasuk elaborasi dari faktor tropik. Squat, deadlift, dan presses memperkuat gerakan fungsional— bangun, berjalan, berdiri, membungkuk, menjangkau – semuanya yang kita kerjakan setiap hari dan bisa menjadi tantangan bagi orang tua dengan dekondisi. Dan karena, tidak seperti mesin, latihan barbel tidak mengisolasi sendi dan tendon dan ligamen yang terkait di pola gerakan yang tidak alami, kita bisa mengharapkan latihan barbel lebih sedikit kemungkinannya dibanding mesin untuk merusak sendi tua.
Terakhir, latihan barbel, seperti obat lain yang kita berikan ke orang tua, bisa disesuaikan dosisnya. Faktanya, ini lebih mudah disesuaikan dosisnya daripada obat lain. Latihan barbel bisa diberikan dosisnya secara tepat, tergantung kebutuhan “pasien”. Tapi ada satu perbedaan penting yang harus diketahui. Tidak seperti obat lain, dimana peningkatan dosis berkaitan dengan pasien jadi lebih sakit, pasien usia 70 tahun yang “resep” squat naik dari 195 ke 200 menjadi lebih sehat, dan lebih kuat.
Itulah resep yang saya suka berikan.
Sampai Repetisi Terakhir
Di suatu sistem (orang yang menua) dimana mode default-nya adalah untuk mati, dimana sinyal apoptosis manusia sudah ada dan diaktifkan, latihan barbel memberi sinyal untuk penyintasan dan pertumbuhan. Latihan barbel memaksa otot untuk bertumbuh lebih kuat dan lebih fleksibel, tendon dan ligamen menebal, tulang mulai meresap kalsium dan membuat matrix baru, persepsi kinestetik untuk mengikuti program, dan sistem endokrin untuk bergerak. Latihan barbel menegasi bentuk ekstrinsik dari penyinalan apoptosis manusia: setiap orang tua yang latihan barbel adalah bukti hidup melawan stereotipe orang tua yang lemah, sebuah contoh dari penuaan yang bisa dan harusnya terjadi. Lebih penting, latihan menghalangi bentuk intrinsik dari penyinalan apoptosis manusia, dengan mengirim pesan ke bagian abu-abu otak kita bahwa ya, kita bisa lebih kuat.
Saya tidak membahas tentang obat awet muda. Latihan barbel tidak akan mengembalikan kartilago, meningkatkan daya pandang, atau mengecilkan prostat. Seperti neuron atau limfosit disingkirkan oleh faktor pertumbuhan peptida, orang yang latihan dengan barbel tidak akan menghindari kematian dan penyakit selamanya. Dan latihan tidak bekerja untuk semuanya – banyak individu yang terlalu lemah dan terlalu sekarat untuk latihan. Lebih banyak yang tidak mau – menjadi kuat datang dengan harga, dan harganya adalah kerja keras. Lebih banyak penelitian diperlukan untuk mengevaluasi bagaimana latihan barbel diadaptasi dengan baik pada populasi tua, apakah bisa dipotensiasi secara aman oleh suplementasi faktor tropik pada orang dengan respon hormon yang menumpul, dan efek, jika ada, pada parameter psikososial, tingkat rawat inap, penurunan kognitif, fungsi seksual, dan nyeri kronik. Literatur masih kurang di penelitian longitudinal yang dilakukan dengan metode yang baik.
Dan sebelum Anda bertanya: saat ini tidak ada bukti yang pasti bahwa latihan kekuatan – atau program latihan dan diet lain – akan memperpanjang masa hidup secara signifikan. Tapi dengan bukti ilmiah yang banyak, walau memiliki kelemahan, secara kuat menunjukkan bahwa kita bisa mengubah arah penurunan. Kita bisa mengembalikan tahun fungsional yang seharusnya hilang. Banyak pembahasan di komunitas peneliti penuaan tentang “ kompresi morbiditas”, pemendekan dari fase disfungsional proses kematian. Daripada secara lambat jatuh ke kondisi atropi lemak, kematian ktia bisa seperti repetisi terakhir yang gagal di set terakhir squat. Kita bisa tetap kuat dan vital hingga tahun terakhir kita, sebelum menurun dengan cepat kepada apapun yang membunuh kita. Kuat hingga akhir.
Itulah, teman-teman, Obat yang Ampuh.
Referensi
- White BC, Sullivan JM, DeGracia DJ, et al. Brain ischemia and reperfusion: molecular mechanisms of neuronal injury. J NeuroSci179(S 1-2):1-33, 2000.
- White BC, Sullivan JM. Apoptosis. AcadEmerg Med 10:1019-29, 1998.
- Renehan AG, Booth C, Potten CS. What is apoptosis, and why is it important? BMJ 322(7301):1536-1538, 2001.
- Collins MK, Perkins GR et al. Growth factors as survival factors: regulation of apoptosis. Bioessays 15(2):133-138, 1994.
- Sanderson TH, Kumar R, Sullivan JM et al. Insulin activates the PI3K-Akt survival pathway in vulnerable neurons following global brain ischemia. Neurol Res 31(9):947-58, 2009.
- Letai A. Growth factor withdrawal and apoptosis: the middle game. Mol Cell 17;21(6):728-30. 2006.
- Russell JW, Windebank AJ, Schenone A, Feldman EL. Insulin-like growth factor-I prevents apoptosis in neurons after nerve growth factor withdrawal. J Neurobiol 15;36(4):455-67, 1998.
- Leeuwenburgh C, Pollack M. Apoptosis and aging: role of the mitochondria. J Gerontol A Biol Sci Med Sci 56 (11):B475-B482, 2001.
- Lee HC, Wei YH. Oxidative stress, mitochondrial DNA mutation, and apoptosis in aging. Exp. Biol. Med. 232:592-606, 2007.
- Zhang JH, Zhang Y, Brain H. Caspases, apoptosis and aging. Aging Res Rev 2(4):357-66, 2003.
- Muradian K, Schachtschabel DO. The role of apoptosis in aging and age-related disease: update. Z Gerontol Gerlat 34:441-446, 2001.
- Nitahara JA, Cheng W, Liu Y, et al. Intracellular calcium, DNase activity and myocyte apoptosis in aging Fischer 344 rats. J Mol Cell Cardiol 30(3):519-35, 1998.
- Blackman MR, Sorkin JD, Munzer T, et al. Growth hormone and sex steroid administration in healthy aged women and men. A randomized controlled trial. JAMA 228:2282-2292, 2002.
- Dupont-Versteegden EE. Apoptosis in muscle atrophy: relevance to sarcopenia. Exp Gerontol 40(6):473-81, 2005.
- Dirks A, Leeuwenburgh C. Apoptosis in skeletal muscle with aging. AJP-Regul Physiol 282(2):R519-27, 2001.
- Marzetti E, Leeuwenburgh C. Skeletal muscle apoptosis, sarcopenia and frailty at old age. Exp Gerontol 41(12): 1234-8, 2006.
- Ferreira R, Neuparth MJ, Vitorino R, et al. Evidences of apoptosis during the early phases of soleus muscle atrophy in hindlimb suspended mice. Physiol Res 57:601-11, 2008.
- Whitman SA, Wacker MJ, Richmond SR, Godard MP. Contributions of the ubiquitin-proteasome pathway and apoptosis to human skeletal muscle wasting with age. Pflugers Arch 450:437-46, 2005.
- Phillipou A, Halapas A, Maridaki M, Koutsilieras M. Type 1 insulin-like growth factor receptor signaling in skeletal muscle regeneration and hypertrophy. J Musculoskelet Neuronal Interact 7(3):208-18, 2007.
- Kostek MC, Delmonico MJ, Reichel JB, et al. Muscle strength response to strength training is influenced by insulinlike growth factor 1 genotype in older adults. J Appl Physiol 98:2147-2154, 2005.
- Boonen S, Rosen C, Bouillon R et al. Musculoskeletal effects of the recombinant human IGF-1/IGF binding protein-3 complex in osteoporotic patients with proximal femoral fracture: a double-blind, placebo-controlled study. J Clin Endocrinol Metab 87:1593-1599, 2002.
- Munzer T, Harman SM, Sorkin JD, Blackman MR. Growth hormone and sex steroid effects on serum glucose, insulin, and lipid concentrations in healthy older women and men. J Clin Endocrinol Metab, 94(10):3833-41, 2009.
- Liu H, Bravata DM, Olkin I, et al. Systematic review: the safety and efficacy of growth hormone in the healthy elderly. Ann Intern Med 146(2):104-15, 2007.
- Andersson DC, Betzenhauser MJ, Reiken S, et al. Ryanodine receptor oxidation causes intracellular calcium leak and muscle weakness in aging. Cell Metab 14:196-207, 2011.
- West DW, Kujbida GW, Moore DR, et al. Resistance exercise-induced increases in putative anabolic hormones do not enhance muscle protein synthesis or intracellular signalling in young men. J Physiol 587(21):5239-5247, 2009.
- Jackman RW, Kandarian SC. The molecular basis of skeletal muscle atrophy. Am J Physiol Cell Physiol 287:C834-C843, 2004.
- Inelman EM, Sergi G, Coin A, et al. Can obesity be a risk factor for elderly people? Obesity Rev 4(3): 147-55, 2003.
- Arterburn DE, Crane PK, Sullivan SD. The coming epidemic of obesity in elderly Americans. J Am Geriatr Soc 52(11):1907-12, 2004.
- Gustafson D, Rothenberg E, Blennow K, et al. An 18-year followup of overweight and risk of Alzheimer disease. Arch Intern Med 163:1524-28, 2003.
- Serra-Rexach JA, Bustamante-Ara N, Hierro Villarán M, et al. Short-term, light- to moderate-intensity exercise training improves leg muscle strength in the oldest old: a randomized controlled trial. J Am Geriatr Soc. 59(4):594-602, 2011 Apr.
- Liu CJ, Latham NK. Progressive resistance strength training for improving physical function in older adults. Cochrane Database Syst Rev3):CD002759. 2009.
- Marques EA, Mota J, Machado L, et al. Multicomponent training program with weight-bearing exercises elicits favorable bone density, muscle strength, and balance adaptations in older women. Calcif Tissue Int. 88(2):117-29, 2011.
- Castaneda C, Layne JE, Munoz-Orians L, et al. A randomized controlled trial of resistance exercise training to improve glycemic control in older adults with type 2 diabetes.Diabetes Care, 25(12):2335-41, 2002.
- Ruiz JR, Sui X, Lobelo F, et al. Association between muscular strength and mortality in men: prospective cohort study. BMJ 337:a439, 2008.